Selasa, 02 April 2013

Teman Paling Baik (Rini Kartiningsih)


Tiba-tiba saja suasana kelas sangat gaduh, setelah Pak Anang, Guru PPKn kelas lma, keluar kelas. Anak-anak yang berada di kelas itu seakan mengeluarkan suara semua. Satu-satunya anak yang tidak bicara adalah Mardi. Dia bahkan tampak termenung. 
Masih terngiang di telinganya, saat Pak Anang memberikan tugas PPKn untuk minggu depan. Semua anak ditugaskan untuk menceritakan prestasi masing-masing di depan kelas. Tak terbayangkan oleh Mardi dia harus berdiri di depan kelas untuk berbicara. Tapi bukan hanya itu kegundahan hatu Mardi terhadap tugas PPKn kali ini. Yang menjadi masalahnya adalah prestasi yang dapat dibanggakan.
Terdengar suara Tori, temannya yang tinggi besar itu, mengatakan kalau pernah menang dalam pertandingan bulutangkis se-Jawa Barat. Sementara Rudi mengatakan kalau pernah menang balap mobil Tamiya yang pernah diadakan di sebuah mal baru-baru ini. Belum lagi Amara mengatakan kalau pernah jadi peragawati di sejumlah peragaan busana. Ada lagi Leni, yang tak mau kalah mengatakan kalau pernah menjuarai lomba puisi antar SD se-kotamadyanya.
Masih banyak lagi suara-suara teman Mardi yang masing-masing mengatakn tentang prestasi mereka, walaupun hanya menang dalam lomba balap karung pada perayaan 17 Agutusan. Sungguh, Mardi hanya terduduk lesu memikirkan kelebihan apa yang dimilikinya. Kalaupun dia punya, adalah berat badannya yang mungkin bertambah setiap bulan.
Hari itu, Mardi berjalan pulang sekolah dengan tak bersemangat. Pikirannya kacau. Tak tahu prestasi apa yang dapat diceritakan di depan teman-temannya. Saat itu udara sangat panas, membuat Mardi keringatan. Saat melihat gerobak es tong-tong kesukaannya, Mardi tidak tertarik. Keinginan makannya seakan hilang.
Tak jauh dari pedagang es tong-tong itu, Mardi melihat Uli, teman sekelasnya sedang duduk di bawah pohon dengan tampang kelelahan. Mardi mendekatinya, dan ikut duduk di bawah rindanganya pohon itu. Angin sedikit-sedikit berhembus.
“Kamu enggak pulang, Li?”
Uli menggeleng lesu.
“Panas begini, aku malas pulang jalan kaki. Aku akan tunggu hingga panas matahari hilang, baru aku bisa pulang.”
“Memangnya kau tidak diberi uang untuk naik angkot?” tanya Marid. Dia juga tahu kalau rumah Uli sangat jauh.
“Mana mampu orang tua aku. Ayahku pemulung. Penghasilannya sangat kecil. Masih harus dibagi dengan aku dan ketiga adikku. Sudah bisa sekolah saja, aku bersyukur sekali.”
Mardi akhirnya merogoh saku seragamnya. Hari ini dia tidak ingin untuk jajan, gara-gara tugas PPKn. Karena itullah uang jajannya masih utuh.
“Aku bayari kau naik angkot sambil membicarakan tugas PPKn minggu depan, ya? Kau mau?” Uli memandang wajah Mardi.
“Terima kasih, Mar! Kalau begitu ayo kita pulang.”
Sore hari, saat asyik menonton film kartun, tiba-tiba saja Tasya, teman sekelas sekaligus tetangganya mendatanginya. Matanya merah, seperti habis menangis.
“Mar, tolong aku, dong! Kamu bisa naik ke atas pohon, kan? Kucingku tak bisa turun dari pohon. Sudah hampir 3 jam dia hanya mengeong-ngeong saja.”
Tanpa menunggu lama, Tasya melihat Mardi mengambil tangga bambu di samping rumahnya. Dia menyandarkan ke pohon tinggi itu. Suara Pussy, kucing Tasya mengeong dengan panik. Pelan-pelan, Mardi menaiki tangga bambu itu. Suaranya bederik-derik. Tangga itu juga bergoyang saat dinaiki Mardi yang bertubuh besar itu. Tapi Mardi tak takut.
Dengan cekatan dia sudah ada di atas pohon. Diraihnya kucing kecil berbulu kuning yang tampak ketakutan itu. Di bawah pohon, Tasya bersorak girang melihat Mardi berhasil menyelamatkan kucing kesayangannya itu.
“Kamu hebat, Mar! Terima kasih, ya!” Tasya berteriak senang.
Malamnya, Mardi masih memikirkan tugas PPKn itu, sehingga dia sulit sekali tidur. Mardi berusaha memikirkan kalau yang telah diperbuatnya selama ini tidak ada yang istimewa, apalagi bisa dikatakan prestasi.
Tiba-tiba saja Mama memberitahu ada telepon dari Mario, teman sebangkunya. Malas-malas, Mardi mengangkatnya.
“Mar, ibuku melahirkan. Adikku perempuan. Besok aku akan menengoknya bersama Papa. Tolong katakan pada Ibu Guru, kalau besok aku tidak masuk sekolah. Terima kasih ya, Mar!”
Mardi ikut senang dengan kelahiran adik Mario. Sambil tersenyum, dia berencana akan menengoknya esok hari sepulang sekolah. Sayangnya, dia tak tahu bingkisan apa yang paling tepat untuk mama Mario. Ia meminta bantuan ibunya untuk memilih bingkisan yang akan diberikan pada mama Mario. Mardi bersemangat sekali merencanakannya, sampai akhirnya ia tertidur pulas.
Hari ini adalah saat yang mendebarkan bagi Mardi, karena Pak Anang menagih tugas PPKn nya pada murid-muridnya. Sejak tadi Mardi hanya bisa duduk termenung. Dia sudah pasrah. Mardi akan menerima jika nanti Pak Anang marah, karena ia mengatakan tak memiliki prestasi apapaun. Bahkan, dia sudah siap ditertawakan oleh teman-temannya.
Satu-persatu teman-temannya berdiri di depan kelas mengatak kelebihan-kelebihan mereka, disambut tepuk tangan seisi kelas, atau decak kagum Pak Anang. Mardi hanya bisa menenangkan hatinya. Sampai akhirnya, giliranya tiba. Mardi berjalan pelan-pelan ke depan kelas. Dia menatap wajah Pak Anang sesaat, lalu memandang teman-temannya. Selanjutnya, Mardi tertunduk lesu.
“Maafkan saya, Pak Anang. Saya tidak bisa menyelesaikan tugas PPKn hari ini. Saya tidak punya kelebihan apa-apa. Saya tidak pandai olahraga, tidak bisa menulis cerita, atau membaca puisi. Saya tidak bisa apa-apa, Pak.”
Selanjutnya, Mardi hanya menunggu olok-olok teman-temannya, sambil berdiri di depan kelas. Setelah hening sesaat, tiba-tiba terdengar suara Tasya, “Mardi bohong, Pak! Dia pandai memanjat pohon, kok. Tempo hari, dia menolong kucing saya yang nggak bisa turun dari atas pohon!”
Kemudian, Mario, teman sebangkunya, juga berteriak “Mardi teman saya yang paling baik, Pak. Dia sering membantu saya mengerjakan PR matematika. Belum lama lagi, dia pandai memilihkan hadiah buat Mama yang baru melahirkan...”
Belum selesai Mario berbicara, giliran Uli berkata, “Mardi bukan teman yang pelit, Pak! Saya senang berteman dengannya.” Tak mau kalah, Tori juga berteriak, “Saya juga senang menjadi temannya. Dia sering menemani saya menonton pertandingan bulu tangkis...”
Selanjutnya yang terjadi, semua isi kelas akan turut bicara, kalau saja Pak Anang tak menghentikannya.
Kini giliran Mardi yang terkejut dengan perkataan teman-temannya. Hampir semua teman-temannya memujinya. Mereka mengatakan kebaikan-kebaikan Marid yang selama ini tak pernah diingatnya.
Pak Anang menepuk bahu Mardi dengan bangga.
“Nah, Mardi, kamu denga semua pendapat teman-temanmu, kan? Prestasi itu tidak harus menang perlombaan atau pertandingan. Tetapi, karena kamu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Mardi, kamu bukan hanya hebat, tetapi kamu berhati mulia. Selamat! Kamu lulus dalam tugas PPKn dengan bilai paling baik!”
Kata-kata Pak Anang itu disambut tepuk tangan teman-teman Mardi. Mardi hanya bisa bersyukur dalam hari, sambil berjanji tak akan melupakan kebaikan teman-temannya. Sungguh, hari ini adalah hari yang tidak bisa dilupakannya.

Sumber: Pustaka Ola - Kumpulan Cerpen Karya Guru 4 Segelas Air untuk Guruku (hal. 119-128)


4 komentar:

  1. Tolong tentukan penokohan atau karakter dari cerita ini dong kak

    BalasHapus
  2. Tak terbayangkan oleh Mardi dia harus berdiri di depan kelas untuk berbicara. Tapi, bukan hanya itu kegundahan hati Mardi terhadap tugas PPKn kali ini. Yang menjadi masalahnya adalah prestasi yang dapat dibanggakan.sudut pandang nya apa kak

    BalasHapus
  3. Siapa saja tokoh di cerpen tersebut dan sifatnya

    BalasHapus