Hari ini, Gerin berjalan di depanku. Anak-anak lain tertawa, mengejek gaya berjalannya. Gerin diam saja sambil mempercepat langkahnya. Ada sesuatu yang aneh di matanya. Rasa kasihan tiba-tiba muncul dalam hatiku. Aku melihat Samlan sengaja meletakkan kakinya agar Gerin tersandung. Akut berteriak tapi terlambat. Gerin terjatuh. Semua tertawa. Aku muak dengan mereka semua. Kuhampiri Gerin, kubantu berdiri, kuambil buku-bukunya.
“Terima kasih, Cika! Terimakasih,” kulihat matanya berair. Gerinpun berlalu sambil tertatih-tatih. Semua terdiam melihatku menolong Gerin. Cika seorang juara, menolong Gerin si murid aneh!
Tahun ajaran ini aku sekelas lagi dengannya. Semua murid memakai perlengkapan sekolah baru, kecuali Gerin. Sepatu lusuhnya tetap menghiasi kakinya yang kurus. Tas biru yang sobek di sana-sini menjadi teman setianya.
“Cika, kamu mau duduk sebangku denganku?” tiba-tiba Gerin bertanya padaku di depan semua anak lain. Kulihat Lita dan Sasa tak bisa menahan tawa.
“Maaf, Geirn, kamu duduk sama anak cowok saja. Aku kan, malu!” tak terasa air mataku hampir keluar, leherku tercekat, sakit rasanya.
“Tapi yang lain tidak akan mau duduk denganku, Cika! Kamu lain, kamu baik!” ia berkata begitu sambil berlari pergi.
Aku bingung! Kuamati Gerin yang sedang duduk sendiri. Timbul rasa kasihan. Tapi aku takut diejek. Sesaat kemudia, aku teringat pesan Mama.
“Kalau berteman, jangan memandang wajah. Walau yang lain tidak suka, kamu harus punya sikap! Berteman atau tidak, turuti isi hatimu!”
Hah..., aku menghela napas. Kudekati meja Gerin, lalu duduk di sebelahnya, diam. Gerin memandangku, tersenyum. Tiba-tiba aku melihat wajahnya kini cerah. Tak terasa akupun ikut tersenyum.
Setahun ini bagikan neraka bagi Gerin dan aku. Persahabatan kami menimbulkan gosip. Teman-teman selalu mengatakan kami pacaran. Gerin selalu diolok-olok. Tetapi sekarang Gerin lebih tegar, selalu tersenyum.
Gerin sering main ke rumahku untuk belajar bersama. Sekarang bahkan dia bisa menyusulku jadi ranking 2 di kelas. Banyak yang kagum, tapi tak jarang pula yang mengatakan Gerin menyontek. Menghadapi semua itu, Gerin tetap diam. Malah aku yang sering emosi karena membela Gerin.
Aku sering menasihatinya untuk merapikan rambutnya, bajunya. Kuberikan beberapa alat tulisku yang tidak terpakai. Kadang Mama menitipkan kaos kaki baru untuk Gerin. Bahkan ketika ulang tahunnya yang ke-12, Mama menghadiahkan sepatu. Sering kulihat matanya berkaca-kaca saat akiu memberikan sesuatu kepadanya. Ya, Gerin memang anak yang baik. Hanya saja teman-temanku tidak mengenalnya dengan baik seperti aku.
Tahun ajaran sudah hampir selesai. Kami semua sibuk dengan persiapan masuk ke SMP. Teman sekelas kini sudah jarang mengganggu Gerin dan aku. Smabil duduk santai di meja kami, aku bertanya kepadanya,
“Kamu melanjutkan SMP ke mana, Ger?”
“Ayah dan Ibu akan pulang kampung. Sepertinya kita akan berpisah Cika...” kulihat lagi matanya berkaca-kaca.
“Gerin, walaupun kita berpisah, tapi kita akan bersahabat selamanya.”
Kupegang tangannya erat-erat. Matakupun mulai basah. Gerin hanya diam dan menatapku. Tiba-tiba aku merasa kehilangan shatabat terbaikku.
Sekarang, 20 tahun telah berlalu. Aku sudah dewasa dan menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Sekarang sahabatku itu telah menjadi dokter Gerin. Sampai saat ini, kami masih tetap saling mengirim surat. Persahabatan yang snagat berharga bagi kami berdua.
Hari ini ketika aku membaca majalah, mataku tertumbuk pada sebuah artikel tentang dokter Gerin yang berprestasi. Hm, hebat sekali dia, pikirku senang. Kubaca artikelnya penuh semangat. Semakin lama aku membaca, matakupun memanas oleh air mata.
“... Dulu waktu saya kelas 5 SD, saya sudah hampir putus asa. Kemiskinan membuat saya putus asa. Tidak ada yang peduli pada saya. Teman, guru, dan orang tua. Saya memutuskan untuk lari darirumah, lari dari sekolah... Hari itu saya sudah mempersiapkan semuanya. Sepulang sekolah saya berencana untuk pergi, entah ke mana! Seperti biasa ada seorang teman yang mengganggu. Dia menyandung kaki saya. Hati ini semakin mantap untuk pergi. Tetapi tiba-tiba sebuah tangan terulur membantu saya berdiri, mengambil buku-buku dan tersenyum! Saya sangat terkejur. Tidak pernah ada yang memperlakukan saya dengan sebaik itu. Sungguh tak terlupakan. Saya membatalkan niat saya untuk lari. Say mencoba bertahan karena sahabat saya itu. Sampai sekarang dia menjadi sahabat terbaik saya. Saya sangat berterimakasih kepadanya. Makanya anak pertama saya namakan sesuai namanya. Cika Andasari. Terima kasih Cika! Kamu adalah sahabat yang mengubah hidup saya...”
Aku tak bisa melanjutkan bacaanku. Mataku penuh air mata. Tak pernah kubayangkan kejadiannya seperti itu. Aku hanya bermaksud menolong. Bagaimana dengan kalian? Semoga kalian juga dapat soerang yang baik bagi orang lain!
Sumber: Kumpulan Cerpen Bobo 48 Segelas Pengakuan Air (hal. 79-87)
Ceritanya bagus, Gan!
BalasHapusMakasih ^^
BalasHapusWah Kevin senang sekali kamu re-post tulisan saya. Semoga bisa bermanfaat buat yang membacanya ya ;)
BalasHapusTitiek Limarty
Bisa dijadiin naskah drama gak?:)
BalasHapusHiks terharu mantabsss lanjuuut
BalasHapusIni pengarang sama penulis nya siapa
BalasHapus