"Besok kita tanding lawan Klub Pelita. Harap jaga kesehatan tubuh kalian," kata Pak Toni, pelatih Klub Pam Jaya, usai mereka berlatih. "Pemain yang diturunkan sama seperti minggu lalu. Willy, Doni, Ari dan Roni! Kalian seperti biasa di bangku cadangan dulu," sambung Pak Toni.
Willy melengos tak semangat.
"Harap semua hadir sejam sebelum pukul 09.00 pagi. Terutama kamu Angga!" Pak Toni menunjuk Angga, pemain andalannya.
"Siap Pak!" jawab Angga tegas dan bangga. Mereka lalu bubar.
GUBRAK! Terdengar bunyi pintu rumah dibating. PRAK! Bunyi sepatu bola yang dibanting keras. Ibu Willy segera menghampiri anaknya.
"Lho, kenapa kami, Will?"
"Willy engak mau ikut latihan bola lagi!" jawabnya ketus sambil cemberut
"Memangnya kenapa? Kamu senang main bola, kan?" tanya Ibu pelan.
"Main bola, sih, senang! Tapi kalau cuma jadi pemain cadangan terus, buat apa, Bu! Coba Ibu bayangkan! Sudah setahun aku ikut latihan, tapi selalu jadi pemain cadangan jika ada pertandingan. Pelatihnya pilih kasih. Angga yang baru beberapa bulan masuk klub, sudah jadi pemain inti. Bahkan sering dipuji-puji. gimana enggak kesal, Bu?" Willy curhat dengan hati dongkol.
"Kamu sama sekali tidak pernah ikut tanding?" tanya Ibu kurang yakin.
"Pernah, sih, Bu! Tapi cuma sekali. Itupun karena kaki Dodi kram," jawab Willy.
"Waktu menggantikan Dodi, apa kamu bermain serius?" selidik Ibu.
"Bermain serius? Buat apa, Bu. Waktu itu, pertandingannya tinggal 10 menit lagi," jawab Willy ketus.
"Itulah salahmu!" kata Ibu sambil tersenyum. "Mestinya, walau diturunkan pada menit-menit terakhir, kamu harus tetap penuh semangat," jawab Ibu.
"Ah, Ibu bercanda. Buat apa lagi main serius, kalu Tim kita sudah kalah. Lagipula, sepuluh menit itu kan sebentar sekali, Bu," jawab Willy protes.
"Benar. Tapi kamu ingat tidak? Waktu Tim Italia dikalahkan Korea, golnya terjadi pada saat satu menit menjelang pertandingan usai. Pemain Korea pantang menyerah sampai detik terakhir. Mereka bisa menyamakan kedudukan, bahkan memenangkan pertandingan melalui perpanjangan waktu," jawab Ibu.
Willy terdiam mendengar jawaban Ibunya, merenungkannya dalam-dalam.
"Kesempatan itu kadang hanya datang satu kali. Tunjukkan kehebatanmu pada pelatihmu, walau waktunya singkat!" ujar Ibu sambil memeluk Willy.
Besoknya, pertandingan dimulai. Di luar dugaan, Tim Pam Jaya kewalahan menghadapi Tim Pelita. Beberapa kali gawang Tim Pam Jaya hampir kebobolan.Angga yang biasanya lincah, hari ini bermain buruk sekali. Beberapa kali bola di kakinya diserobot tim lawan. Padahal biasanya jarang ada lawan yang bisa menebak langkahnya saat menggiring bola.
Tak lama kemudian, Tim Pelita berhasil membobol gawang Tim Pam Jaya. Willy sedih juga melihat kawan-kawannya. Mereka sudah terbiasa bergantung pada Angga. Jika keadaannya seperti ini terus, mereka bisa kalah. Saat babak kedua baru berjalan lima menit, lagi-lagi gawang mereka kebobolan.
"Jangan-jangan kaki Angga sakit," gumam Willy. Belum lagi Willy melanjutkan lamunannya, ia dikejutkan oleh suara Pak Toni.
"Willy! Kamu siap-siap menggantikan Angga!" Pak Toni menunjuknya.
"Saya, Pak?" Willy hampir tak percaya mendapat tugas menggantikan Angga. Bagai mimpi, ia bangkit dari tempat duduknya.
"Ini saatnya untuk membuktikan," bisik Willy dalam hati dan tak lupa berdoa.
Ketika wasit meniupkan peluitnya sambil menunjuk pada Angga, kemudian pada dirinya, Willy sudah siap. Dengan sigap dan bersemangat, Willy berlari ke lapangan. Pertandinganpun dilanjutkan kembali. ia mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya.
Begitu mendapat bola, Willy menggiringnya ke arah gawang lawan. Ia berhasil melewati satu, dua pemain lawan. Ketika posisinya sudah berhdap-hadapan dengan kiper, dengan cepat dan terarah ia menendang bola ke arah gawang. tendangan itu begitu keras, dan mengarah ke sudut yang sulit dijangkau kiper Pelita. Maka... jebollah gawang Pelita!
Sorak tepuk tangan segera membahana dari tempat Tim Pam Jaya. Padahal selama babak pertama, hampir tak ada kata yang bisa terucap. Teman-teman di lapangan segera mengerumuni dan menyalami Willy. Semangat mereka segera menyala kembali. Terutama Joni, yang biasa dipasangkan dengan Angga sebagai penyerang.
Willy tidak puas sampai di situ. Kalau ingin menang, mereka harus mencetak dua gol. Itu sulit kalau ia harus menyerang sendirian. Willy segera mengubah taktik serangannya. Kini bola diumpakan ke Jobu, Jenudian Joni menggiringnya sebentar dan mengoper pada Willy. Ternyata taktik itu cuku jitu mengantarkan mereka kembali ke depan gawang Pelita.
Lagi-lagi Willy berhadapan dengan sang kiper. Namn kali ini ada Joni di tengah gawang. Ketika kiper itu maju untuk mengambil bola, dngan cepat Willy mengoper bola kepada Joni. Joni menendang bola dan menggetarkan jala gawang Tim Pelita. Kembali sorak-sorai bergemuruh. Joni mendapat sambutan luar biasa dari teman-temannya.
"Terima kasih, Will!" kata Joni sambil menepuk tangan Willy.
Pertandingan berjalan tinggal 5 menit lagi Di menit-menit terakhir, Tim Pelita lebih bersemangat. Mereka tidak ingin gawangnya kembali kebobolan. Kali ini Andi berhasil memotong bola dari kaki pemain Pelita. Ia langsung mengopernya pada Joni, Joni mengoper pada Adam. Setelah berhasil melewati satu pemain belakang, Adam kembali mengumpankan bola pada Joni. Posisi Joni ada di tengah-tengah gawang, namun ia tidak berdiri bebas. Ada satu pemain belakang yang menghadangnya.
Ketika melihat Willy di belakangnya, Joni segera menendang bola pelan ke arah samping depan. Pemain belakang itu terkecoh, tidak menyangka bola akan dioperkan. ia mengira Joni akan melelwatinya. Pemain Pelita itu hanya tertegun ketika melihat Willy untuk ketiga kalinya mencetak gol.
Kali ini sorak-sorai penonton makin membahana. Bahkan Angga, pemain cadangan, dan official Tim Pam Jaya berlarian ke arah lapangan. Mereka terkesan dengan permainan Willy dan kawan-kawannya. Ketika peluit panjang terdengar, semakin lengkaplah kebahagian Tim Pam Jaya. Mereka saling berangkulan. Pak Toni menyalami para pemain Tim Pelita. Mereka berkumpul di pinggir lapangan.
"Selamat atas kebehasilan kalian, terutama kamu Will. Dari dulu saya sudah menebak. Kalau mau bermain serius, kamu pasti tidak akan mengecewakan. Dan itu terbukti!" puji Pak Toni. "Kamu Angga! Kenapa kamu tidak bermain seperti biasanya?" sambungnya.
"Kaki saya terkilir, Pak!" jawab Angga.
"Oh... Pantas..." ujar Pak Toni dan teman-teman lainnya.
"Untuk kita masih punya pemain cadangan seperti Willy, Pak!" timpal Joni.
"Tidak hanya WIlly. Doni, Ari, dan Roni, semua pemain yang baik. Pemain cadangan itu bukan berarti pemain yang buruk. Saat pertandingan, kan, tidak mungkin semua pemain dipasang. Di beberapa Tim Dunia, pemain cadangan itu malah tidak diturunkan di menit-menit awal pertandingan. Mereka disiapkan sebagai senjata terampuh saat timnya ketinggalan," Pak Toni menjelaskan. "Dan hari ini Willy telah mebuktikannya. Bapak berharap, siapapun yang duduk di bangku cadangan, tidak merasa rendah diri. Kalau kalian tidak bermain sungguh-sungguh, pelatih tidak bisa melihat kehebatan kalian," sambungnya lagi.
Willy bernafas lega. Ia merebahkan tubuhnya di rumput hijau di sekelilingnya.
"Terima kasih, Bu!" gumamnya dalam hati. Dipandanginya pojok lapangan tempat ia selama hampir setahun duduk terpaku di situ. Hari ini, paku itu telah berhasil dicabut.
Sumber: Kumpulan Cerpen Bobo 46 Rumah di Bawah Kabut (hal. 23-33)
Kumpulan Cerita Pendek
Rabu, 03 April 2013
Selasa, 02 April 2013
Persahabatan (Titiek Limarty)
Namanya Gerin. Aku dan teman-temanku selalu memandanginya dengan aneh. Sebab ia selalu berjalan sambil menjinjitkan kaki. Kacamatanya supertebal, rambutnya selalu acak-acakan, bajunya juga tak pernah rapi. Sebenarnya aku kasihan melihatnya. Tapi keadaan membuatku ikut-ikutan jahil kepadanya.
Hari ini, Gerin berjalan di depanku. Anak-anak lain tertawa, mengejek gaya berjalannya. Gerin diam saja sambil mempercepat langkahnya. Ada sesuatu yang aneh di matanya. Rasa kasihan tiba-tiba muncul dalam hatiku. Aku melihat Samlan sengaja meletakkan kakinya agar Gerin tersandung. Akut berteriak tapi terlambat. Gerin terjatuh. Semua tertawa. Aku muak dengan mereka semua. Kuhampiri Gerin, kubantu berdiri, kuambil buku-bukunya.
“Terima kasih, Cika! Terimakasih,” kulihat matanya berair. Gerinpun berlalu sambil tertatih-tatih. Semua terdiam melihatku menolong Gerin. Cika seorang juara, menolong Gerin si murid aneh!
Tahun ajaran ini aku sekelas lagi dengannya. Semua murid memakai perlengkapan sekolah baru, kecuali Gerin. Sepatu lusuhnya tetap menghiasi kakinya yang kurus. Tas biru yang sobek di sana-sini menjadi teman setianya.
“Cika, kamu mau duduk sebangku denganku?” tiba-tiba Gerin bertanya padaku di depan semua anak lain. Kulihat Lita dan Sasa tak bisa menahan tawa.
“Maaf, Geirn, kamu duduk sama anak cowok saja. Aku kan, malu!” tak terasa air mataku hampir keluar, leherku tercekat, sakit rasanya.
“Tapi yang lain tidak akan mau duduk denganku, Cika! Kamu lain, kamu baik!” ia berkata begitu sambil berlari pergi.
Aku bingung! Kuamati Gerin yang sedang duduk sendiri. Timbul rasa kasihan. Tapi aku takut diejek. Sesaat kemudia, aku teringat pesan Mama.
“Kalau berteman, jangan memandang wajah. Walau yang lain tidak suka, kamu harus punya sikap! Berteman atau tidak, turuti isi hatimu!”
Hah..., aku menghela napas. Kudekati meja Gerin, lalu duduk di sebelahnya, diam. Gerin memandangku, tersenyum. Tiba-tiba aku melihat wajahnya kini cerah. Tak terasa akupun ikut tersenyum.
Setahun ini bagikan neraka bagi Gerin dan aku. Persahabatan kami menimbulkan gosip. Teman-teman selalu mengatakan kami pacaran. Gerin selalu diolok-olok. Tetapi sekarang Gerin lebih tegar, selalu tersenyum.
Gerin sering main ke rumahku untuk belajar bersama. Sekarang bahkan dia bisa menyusulku jadi ranking 2 di kelas. Banyak yang kagum, tapi tak jarang pula yang mengatakan Gerin menyontek. Menghadapi semua itu, Gerin tetap diam. Malah aku yang sering emosi karena membela Gerin.
Aku sering menasihatinya untuk merapikan rambutnya, bajunya. Kuberikan beberapa alat tulisku yang tidak terpakai. Kadang Mama menitipkan kaos kaki baru untuk Gerin. Bahkan ketika ulang tahunnya yang ke-12, Mama menghadiahkan sepatu. Sering kulihat matanya berkaca-kaca saat akiu memberikan sesuatu kepadanya. Ya, Gerin memang anak yang baik. Hanya saja teman-temanku tidak mengenalnya dengan baik seperti aku.
Tahun ajaran sudah hampir selesai. Kami semua sibuk dengan persiapan masuk ke SMP. Teman sekelas kini sudah jarang mengganggu Gerin dan aku. Smabil duduk santai di meja kami, aku bertanya kepadanya,
“Kamu melanjutkan SMP ke mana, Ger?”
“Ayah dan Ibu akan pulang kampung. Sepertinya kita akan berpisah Cika...” kulihat lagi matanya berkaca-kaca.
“Gerin, walaupun kita berpisah, tapi kita akan bersahabat selamanya.”
Kupegang tangannya erat-erat. Matakupun mulai basah. Gerin hanya diam dan menatapku. Tiba-tiba aku merasa kehilangan shatabat terbaikku.
Sekarang, 20 tahun telah berlalu. Aku sudah dewasa dan menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Sekarang sahabatku itu telah menjadi dokter Gerin. Sampai saat ini, kami masih tetap saling mengirim surat. Persahabatan yang snagat berharga bagi kami berdua.
Hari ini ketika aku membaca majalah, mataku tertumbuk pada sebuah artikel tentang dokter Gerin yang berprestasi. Hm, hebat sekali dia, pikirku senang. Kubaca artikelnya penuh semangat. Semakin lama aku membaca, matakupun memanas oleh air mata.
“... Dulu waktu saya kelas 5 SD, saya sudah hampir putus asa. Kemiskinan membuat saya putus asa. Tidak ada yang peduli pada saya. Teman, guru, dan orang tua. Saya memutuskan untuk lari darirumah, lari dari sekolah... Hari itu saya sudah mempersiapkan semuanya. Sepulang sekolah saya berencana untuk pergi, entah ke mana! Seperti biasa ada seorang teman yang mengganggu. Dia menyandung kaki saya. Hati ini semakin mantap untuk pergi. Tetapi tiba-tiba sebuah tangan terulur membantu saya berdiri, mengambil buku-buku dan tersenyum! Saya sangat terkejur. Tidak pernah ada yang memperlakukan saya dengan sebaik itu. Sungguh tak terlupakan. Saya membatalkan niat saya untuk lari. Say mencoba bertahan karena sahabat saya itu. Sampai sekarang dia menjadi sahabat terbaik saya. Saya sangat berterimakasih kepadanya. Makanya anak pertama saya namakan sesuai namanya. Cika Andasari. Terima kasih Cika! Kamu adalah sahabat yang mengubah hidup saya...”
Aku tak bisa melanjutkan bacaanku. Mataku penuh air mata. Tak pernah kubayangkan kejadiannya seperti itu. Aku hanya bermaksud menolong. Bagaimana dengan kalian? Semoga kalian juga dapat soerang yang baik bagi orang lain!
Sumber: Kumpulan Cerpen Bobo 48 Segelas Pengakuan Air (hal. 79-87)
Rumus Keberhasilan (Widya Suwarna)
Hari ini Pak Ober, pengusaha kaya berulang tahun. Pada malam hari ia mengadakan pesta di antara keluarga dan kawan-kawan. Tapi, pada siang harinya ia mengadakan acara istimewa sendiri.
Pak Ober berjalan menuju kolong jembatan. Ada pemulung yang sedang membereskan kertas dan karton. Beberapa orang sedang berjudi dan ada juga orang-orang yang sedang tertidur pulas, tidak menghiraukan hiruk-pikuk suasana. Pak Ober mendekati gelandangan muda yang sedang duduk termenung seorang diri. Pakaiannya lusuh dan rambutnya kusut dan gondrong.
“Siapa namamu? Ikutlah aku. Aku akan mentraktirmu makan siang di restoran!” kata Pak Ober.
“Namaku Helmut. Mengapa Bapak mau mentraktirku?” Tanya Helmut. Wajahnya yang kumal dan berjenggot menampilkan rasa heran dan kuatir.
“Hari ini aku berulang tahun ke-50. Aku ingin ada orang yang menemaniku makan siang dan berbincang-bincang! Hanya itu saja, tak ada maksud lain!” kata Pak Ober. Melihat roman muka Pak Ober yang baik dan ramah, Helmutpun mengangguk.
Mula-mula, Pak Ober mengajak Helmut ke tukang pangkas. Sesudah mencuci muka, memangkas rambut dan jenggotnya, Pak Ober membelikan celana panjang, kemeja dan sepatu. Pak Ober menyuruh Helmut melihat dirinya di kaca etalase sebuah toko dan Helmutpun tersenyum. Rasanya ia menjadi seseorang yang lain.
Mereka berdua makan di restoran besar. Wah, sudah lama Helmut tidak menikmati makanan selezat itu. Ia makan dengan lahap.
“Senang benar bila menjadi orang kaya seperti Bapak!” kata Helmut.
Pak Ober tersenyum.
“Aku bilang senang benar menjadi anak muda. Badan sehat, kesempatan terbuka luas untuk berhasil. Lebih mudah belajar ketimbang orang yang sudah tua, tenaga masih penuh.” Kata Pak Ober.
“Ah, walaupun muda, hidupku susah. Untuk makan sehari-hari saja harus menunggu belas kasihan orang!” keluh Helmut.
“Itu kemarin. Mulai hari ini tidak lagi. Aku akan memberikan rumusnya supaya kamu berhasil.” Kata Pak Ober. Ia meneguk minumannya dan Helmut menyeka mulutnya. Perutnya sudah kenyang dan ia sangat berminat mendengarkan kata-kata Pak Ober, orang kaya aneh yang baru dikenalnya.
“Maaf, Pak, sebelumnya aku ingin bertanya. Mengapa justru Bapak mengajak aku untuk makan siang dan bukan orang lain?” Tanya Helmut.
Pak Ober tersenyum.
“Ah, kebetulan saja. Orang kaya suka aneh-aneh. Tiba-tiba saja hari ini aku ingin pergi ke kolong jembatan dan mengajak seseorang makan siang dan aku bertemu dengan kamu.” Jawab Pak Ober.
“Oh, ya, rumus keberhasilan itu mudah diingat. Pertama, carilah Tuhan dulu dan rajin berdoa. Kemudian, rajin bekerja. Jangan biarkan tanganmu menganggur. Lalu, rajin belajar dan manfaatkan kesempatan yang ada. Otakmu harus selalu memikirkan hal-hal yang baik. Kalau uangmu belum banyak, engkau harus sangat berhemat. Jika tidak benar-benar perlu, jangan keluarkan uang!” Pak Ober menjelaskan rumusnya.
Helmut menghafal kata-kata itu. Tak lama kemudian, mereka berdua berpisah.
Sebelum berpisah, Pak Ober berkata, “Tahun depan kita akan bertemu lagi di restoran ini pada jam yang sama dan kita akan bercerita lagi.”
Helmut kembali ke kolong jembatan. Rekan-rekannya heran dan menyarankan agar Helmut menjual pakaiannya dan mentraktir mereka minum-minum. Tetapi Helmut tidak mau.
Helmut menyendiri dan berdoa. Ia memohon agar Tuhan memberinya pekerjaan. Ia teringat bahwa orang-orang suka berdiri di pinggir jalan di bawah pohon dan menggantungkan karton di dadanya dengan tulisan: TOLONG BERI AKU PEKERJAAN.
Segera Helmut mencari karton dan tali, menuliskan karton itu dengan arang yang dipungutnya di jalan dan pergi ke bawah pohon di pinggir jalan.
Benar saja, tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti. Helmut diajak ke sebuah pesta pernikahan dan ia bertugas mengambil piring-piring dan gelas yang kotor. Sore itu ia mendapatkan uang. Dan ia membungkus uang yang didapatnya. Ia sangat senang. Ia menawarkan diri dan diterima bekerja di perusahaan catering tersebut.
Setelah beberapa hari bekerja, Helmut berpikir, “Aku selalu berdoa dan bekerja, tetapi aku belum belajar. Kata Pak Ober aku harus belajar.”
Bulan depannya, Helmut mengikuti kursus memasak. Sekarang ia merasa senang, karena mempunyai pekerjaan, simpanan uang, dan ia sedang belajar. Di tempat kerjanya ia rajin membantu koki dan majikannya sayang kepadanya karena ia demikian rajin.
Namun, ada kawannya yang iri hati. Ketika Helmut membuat sambal, kawannya memasukkan cicak mati ke dalam sambal. Jadi ketika pesta berlangsung dan orang menemukan cicak dalam sambal, terjadi kegemparan. Helmut dimarahi walau tidak bersalah, dan iapun dipecat.
Maka, Helmut harus memulai lagi dari permulaan. Ia membeli bahan-bahan dan membuat kue, lalu menjajakan kuenya. Ia juga mengunjungi bekas majikannya dan menawarkan kuenya. Ketika itu majikannya sudah merasa bahwa sebenarnya Helmut tidak bersalah. Tetapi, ia harus mengeluarkan Helmut. Kalau tidak, mungkin ada yang membuat ulah lain yang bisa merugikan perusahaan.
Jadi, Helmut mendapat pesanan kue yang cukup banyak. Karena tidak bisa mengerjakan sendirian, ia mencari pembantu. Sekarang ia bisa berusaha dengan tenang. Ia terus mengingat nasihat Pak Ober: Berdoa, bekerja, belajar, hemat, dan manfaatkan kesempatan.
Setahun kemudian, sesuai dengan janjinya, ia bertemu lagi dengan Pak Ober di restoran. Ia membawakan kue buatannya dan menceritakan pengalamannya.
Setelah selesai makan dan mereka akan berpisah, Pak Ober berkata, “Tahun depan kita tidak bertemu lagi di sini. Engkau kuundang ke pesta ulang tahun di rumahku!”
“Kalau aku berulang tahun, aku akan mengundang Bapak di rumah makan yang sederhana. Dan aku juga akan mengundang makan seorang gelandangan dan membagikan rumus keberhasilanku!” kata Helmut.
“Itu gagasan yang bagus. Akupun akan membagikan rumus keberhasilan ini pada orang-orang yang belum berhasil. Tidak setahun sekali, tapi kapan saja aku sempat melakukannya!” kata Pak Ober. Kedua orang itupun berpisah. Helmut yang dulunya gelandangan, kini sudah menjadi pengusaha kue kecil-kecilan. Apakah kamu mau mendekati kawan-kawanmu yang kurang beruntung dan memberikan sesuatu pada mereka?
Sumber: Kumpulan Cerpen Bobo 25 (hal. 137-144)
Teman Paling Baik (Rini Kartiningsih)
Tiba-tiba saja suasana kelas sangat gaduh, setelah Pak Anang, Guru PPKn kelas lma, keluar kelas. Anak-anak yang berada di kelas itu seakan mengeluarkan suara semua. Satu-satunya anak yang tidak bicara adalah Mardi. Dia bahkan tampak termenung.
Masih terngiang di telinganya, saat Pak Anang memberikan tugas PPKn untuk minggu depan. Semua anak ditugaskan untuk menceritakan prestasi masing-masing di depan kelas. Tak terbayangkan oleh Mardi dia harus berdiri di depan kelas untuk berbicara. Tapi bukan hanya itu kegundahan hatu Mardi terhadap tugas PPKn kali ini. Yang menjadi masalahnya adalah prestasi yang dapat dibanggakan.
Terdengar suara Tori, temannya yang tinggi besar itu, mengatakan kalau pernah menang dalam pertandingan bulutangkis se-Jawa Barat. Sementara Rudi mengatakan kalau pernah menang balap mobil Tamiya yang pernah diadakan di sebuah mal baru-baru ini. Belum lagi Amara mengatakan kalau pernah jadi peragawati di sejumlah peragaan busana. Ada lagi Leni, yang tak mau kalah mengatakan kalau pernah menjuarai lomba puisi antar SD se-kotamadyanya.
Masih banyak lagi suara-suara teman Mardi yang masing-masing mengatakn tentang prestasi mereka, walaupun hanya menang dalam lomba balap karung pada perayaan 17 Agutusan. Sungguh, Mardi hanya terduduk lesu memikirkan kelebihan apa yang dimilikinya. Kalaupun dia punya, adalah berat badannya yang mungkin bertambah setiap bulan.
Hari itu, Mardi berjalan pulang sekolah dengan tak bersemangat. Pikirannya kacau. Tak tahu prestasi apa yang dapat diceritakan di depan teman-temannya. Saat itu udara sangat panas, membuat Mardi keringatan. Saat melihat gerobak es tong-tong kesukaannya, Mardi tidak tertarik. Keinginan makannya seakan hilang.
Tak jauh dari pedagang es tong-tong itu, Mardi melihat Uli, teman sekelasnya sedang duduk di bawah pohon dengan tampang kelelahan. Mardi mendekatinya, dan ikut duduk di bawah rindanganya pohon itu. Angin sedikit-sedikit berhembus.
“Kamu enggak pulang, Li?”
Uli menggeleng lesu.
“Panas begini, aku malas pulang jalan kaki. Aku akan tunggu hingga panas matahari hilang, baru aku bisa pulang.”
“Memangnya kau tidak diberi uang untuk naik angkot?” tanya Marid. Dia juga tahu kalau rumah Uli sangat jauh.
“Mana mampu orang tua aku. Ayahku pemulung. Penghasilannya sangat kecil. Masih harus dibagi dengan aku dan ketiga adikku. Sudah bisa sekolah saja, aku bersyukur sekali.”
Mardi akhirnya merogoh saku seragamnya. Hari ini dia tidak ingin untuk jajan, gara-gara tugas PPKn. Karena itullah uang jajannya masih utuh.
“Aku bayari kau naik angkot sambil membicarakan tugas PPKn minggu depan, ya? Kau mau?” Uli memandang wajah Mardi.
“Terima kasih, Mar! Kalau begitu ayo kita pulang.”
Sore hari, saat asyik menonton film kartun, tiba-tiba saja Tasya, teman sekelas sekaligus tetangganya mendatanginya. Matanya merah, seperti habis menangis.
“Mar, tolong aku, dong! Kamu bisa naik ke atas pohon, kan? Kucingku tak bisa turun dari pohon. Sudah hampir 3 jam dia hanya mengeong-ngeong saja.”
Tanpa menunggu lama, Tasya melihat Mardi mengambil tangga bambu di samping rumahnya. Dia menyandarkan ke pohon tinggi itu. Suara Pussy, kucing Tasya mengeong dengan panik. Pelan-pelan, Mardi menaiki tangga bambu itu. Suaranya bederik-derik. Tangga itu juga bergoyang saat dinaiki Mardi yang bertubuh besar itu. Tapi Mardi tak takut.
Dengan cekatan dia sudah ada di atas pohon. Diraihnya kucing kecil berbulu kuning yang tampak ketakutan itu. Di bawah pohon, Tasya bersorak girang melihat Mardi berhasil menyelamatkan kucing kesayangannya itu.
“Kamu hebat, Mar! Terima kasih, ya!” Tasya berteriak senang.
Malamnya, Mardi masih memikirkan tugas PPKn itu, sehingga dia sulit sekali tidur. Mardi berusaha memikirkan kalau yang telah diperbuatnya selama ini tidak ada yang istimewa, apalagi bisa dikatakan prestasi.
Tiba-tiba saja Mama memberitahu ada telepon dari Mario, teman sebangkunya. Malas-malas, Mardi mengangkatnya.
“Mar, ibuku melahirkan. Adikku perempuan. Besok aku akan menengoknya bersama Papa. Tolong katakan pada Ibu Guru, kalau besok aku tidak masuk sekolah. Terima kasih ya, Mar!”
Mardi ikut senang dengan kelahiran adik Mario. Sambil tersenyum, dia berencana akan menengoknya esok hari sepulang sekolah. Sayangnya, dia tak tahu bingkisan apa yang paling tepat untuk mama Mario. Ia meminta bantuan ibunya untuk memilih bingkisan yang akan diberikan pada mama Mario. Mardi bersemangat sekali merencanakannya, sampai akhirnya ia tertidur pulas.
Hari ini adalah saat yang mendebarkan bagi Mardi, karena Pak Anang menagih tugas PPKn nya pada murid-muridnya. Sejak tadi Mardi hanya bisa duduk termenung. Dia sudah pasrah. Mardi akan menerima jika nanti Pak Anang marah, karena ia mengatakan tak memiliki prestasi apapaun. Bahkan, dia sudah siap ditertawakan oleh teman-temannya.
Satu-persatu teman-temannya berdiri di depan kelas mengatak kelebihan-kelebihan mereka, disambut tepuk tangan seisi kelas, atau decak kagum Pak Anang. Mardi hanya bisa menenangkan hatinya. Sampai akhirnya, giliranya tiba. Mardi berjalan pelan-pelan ke depan kelas. Dia menatap wajah Pak Anang sesaat, lalu memandang teman-temannya. Selanjutnya, Mardi tertunduk lesu.
“Maafkan saya, Pak Anang. Saya tidak bisa menyelesaikan tugas PPKn hari ini. Saya tidak punya kelebihan apa-apa. Saya tidak pandai olahraga, tidak bisa menulis cerita, atau membaca puisi. Saya tidak bisa apa-apa, Pak.”
Selanjutnya, Mardi hanya menunggu olok-olok teman-temannya, sambil berdiri di depan kelas. Setelah hening sesaat, tiba-tiba terdengar suara Tasya, “Mardi bohong, Pak! Dia pandai memanjat pohon, kok. Tempo hari, dia menolong kucing saya yang nggak bisa turun dari atas pohon!”
Kemudian, Mario, teman sebangkunya, juga berteriak “Mardi teman saya yang paling baik, Pak. Dia sering membantu saya mengerjakan PR matematika. Belum lama lagi, dia pandai memilihkan hadiah buat Mama yang baru melahirkan...”
Belum selesai Mario berbicara, giliran Uli berkata, “Mardi bukan teman yang pelit, Pak! Saya senang berteman dengannya.” Tak mau kalah, Tori juga berteriak, “Saya juga senang menjadi temannya. Dia sering menemani saya menonton pertandingan bulu tangkis...”
Selanjutnya yang terjadi, semua isi kelas akan turut bicara, kalau saja Pak Anang tak menghentikannya.
Kini giliran Mardi yang terkejut dengan perkataan teman-temannya. Hampir semua teman-temannya memujinya. Mereka mengatakan kebaikan-kebaikan Marid yang selama ini tak pernah diingatnya.
Pak Anang menepuk bahu Mardi dengan bangga.
“Nah, Mardi, kamu denga semua pendapat teman-temanmu, kan? Prestasi itu tidak harus menang perlombaan atau pertandingan. Tetapi, karena kamu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Mardi, kamu bukan hanya hebat, tetapi kamu berhati mulia. Selamat! Kamu lulus dalam tugas PPKn dengan bilai paling baik!”
Kata-kata Pak Anang itu disambut tepuk tangan teman-teman Mardi. Mardi hanya bisa bersyukur dalam hari, sambil berjanji tak akan melupakan kebaikan teman-temannya. Sungguh, hari ini adalah hari yang tidak bisa dilupakannya.
Sumber: Pustaka Ola - Kumpulan Cerpen Karya Guru 4 Segelas Air untuk Guruku (hal. 119-128)
Langganan:
Postingan (Atom)